Cari Blog Ini

Jumat, 15 April 2011

Perang Salib____

Dibanding tentara Eropa, perangkat tentara Islam lebih ringan dan simpel.
Sejak awal perkembangannya di Arab, agama Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan cepat, baik melalui penaklukan maupun munculnya kesadaran untuk masuk Islam. Jangkauan kekuasaan Islam ketika itu meliputi Afrika Utara dan Timur Tengah.

Pada abad ke-8, sebagian besar India sudah diislamkan. Tentara Muslim juga mulai menguasai Spanyol. Pada abad ke-17, wilayah yang dikuasai tentara Islam semakin banyak, membentang mulai dari bagian selatan Filipina, kawasan Asia Selatan, sampai Timur Tengah melalui Turki. Pengaruh Islam juga sudah sampai di Eropa Tengah.

Rentang wilayah yang luas, kebudayaan yang beragam, dan masa penyebaran yang telah berlangsung lama, berpengaruh pada karakteristik senjata dan pelindung bagi tentara Islam. Perangkat untuk tentara itu berkembang sesuai dengan wilayahnya. Jadi, ketika berbicara tentang senjata dan pelindung tentara Islam, hal tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis. Pertama, pada Pemerintahan Mamluk (1250-1517) di Mesir dan Suriah, Kekaisaran Ottoman (1299-1922) di Timur Dekat seperti di Persia, dan masa kepemimpinan Mughal (1526-1858) di India.

Meski terbagi menjadi tiga, satu hal yang menjadi kesamaan dan karakteristik pelindung tentara Islam jika dibandingkan tentara Eropa adalah pada berat dan besarnya. Pelindung tentara Islam jauh lebih ringan dan simpel. Hal ini sesuai dengan strategi dan taktik perang tentara Islam yang lebih mementingkan kecepatan. Selain itu, kondisi cuaca di wilayah Muslim yang cenderung panas membuat para tentaranya lebih memilih pelindung yang sederhana.

Pelindung yang paling sering digunakan adalah chain mail atau baju zirah yang terbuat dari jalinan rantai-rantai kecil. Pelindung jenis ini masih digunakan hingga abad ke-19. Sementara di Eropa, pelindung jenis itu sudah mulai ditinggalkan terutama sejak adanya baju besi. Baju yang terbuat dari susunan pelat besi itu mulai muncul pada awal abad ke-15.

Bicara mengenai pelat besi, tentara Islam sebenarnya juga menggunakan pelindung jenis ini, hanya saja dengan kapasitas yang lebih kecil. Pelat besi hanya digunakan pada helm, lengan, dan bagian betis. Pada beberapa desain baju zirah, pelat besi digunakan di beberapa bagian untuk memperkuat baju tentara itu.

Selain baju zirah, baju pelindung yang juga menjadi karakteristik tentara Islam adalah baju yang terbuat dari potongan-potongan kecil pelat besi yang dirangkai dengan rantai kecil. Baju pelindung jenis ini banyak berkembang di Iran dan Anatolia pada awal abad ke-15.Variasi ukuran dan konfigurasi pelat besi dari jenis baju besi itu juga banyak digunakan pada masa Kerajaan Ottoman di abad ke-17, yang kemudian juga mempengaruhi perlengkapan perang pada masa Mughal di India.

Kemudian dari sisi senjata, pedang yang paling umum digunakan adalah pedang melengkung dengan satu sisi tajam. Pedang ini sangat familiar karena banyak film yang menggambarkan tentara Islam selalu menggunakan jenis pedang tersebut.

Pada masa-masa awal sejarah Islam, tentara Muslim sebenarnya lebih banyak menggunakan pedang lurus. Bahkan, dari sembilan pedang yang dimiliki Rasulullah SAW, tujuh di antaranya merupakan pedang lurus dengan dua sisi yang tajam. Namun, karena penggambaran melalui foto dan film yang banyak beredar, tentara Islam seakan identik dengan pedang melengkung.

Berdasarkan kajian sejarah, pedang melengkung sebenarnya dikenalkan oleh tentara Islam dari Turki dan wilayah lain di Asia Tengah. Mereka adalah tentara yang dipekerjakan untuk menjadi pengawal kerajaan pada masa Khalifah Abbasiah, al-Mu'tasim. Tapi, tidak ada yang mengetahui, sejak kapan teknologi membuat pedang melengkung ini dikembangkan. Namun, menurut beberapa catatan, pedang jenis ini mulai tersebar dan digunakan sejak abad ke-7, dimulai dari wilayah Hungaria lalu bergerak ke timur hingga mencapai Cina dan Jepang.

Pedang jenis ini disukai tentara Muslim karena penggunaannya yang efisien, terutama bagi tentara berkuda. Karena bentuknya melengkung, pedang jenis ini lebih mudah dicabut dari sarungnya. Pedang ini berfungsi untuk membelah dan memotong. Lengkungan juga memberi tambahan kekuatan dan kecepatan saat diayunkan.

Selain pedang, tentara Muslim juga menggunakan tombak, kampak, gada, dan panah. Busur yang dipakai tentara Muslim memiliki sedikit perbedaan dengan busur biasa. Pada bagian ujung busur tersebut terdapat lengkungan. Lengkungan inilah yang menambah momentum sehingga kekuatan anak panah yang meluncur pada jenis busur itu akan jauh lebih besar.

Pedang_terkuat

Pada Perang Salib (1095-1270), pasukan Muslim menjadi sangat ditakuti karena pedang-pedang mereka yang sangat kuat. Sudah menjadi legenda jika pedang itu ditempa dari besi Damaskus, besi terkuat yang mampu menciutkan nyali pasukan Eropa.

Karena kekuatannya itulah, para pembuat pedang Eropa mencoba meniru cara membuat besi Damaskus. Mereka mencoba meniru teknik pencampuran beberapa lapisan besi dan baja. Teknik ini sebenarnya juga sudah dikuasai oleh pembuat pedang di belahan dunia yang lain, seperti para pembuat katana (pedang panjang) di Jepang, bangsa Celtic, dan bangsa Viking. Namun, karakteristik unik dari pedang Damaskus adalah corak aliran air yang terbentuk di permukaannya.

Untuk mendapatkan efek serupa, pembuat pedang Eropa justru mengukir permukaan pedang yang sudah mereka buat dengan perak atau tembaga. Sepintas, hasilnya memang serupa. Tetapi, para pembuat pedang di Eropa itu tidak bisa menyamai esensi kekuatan dari inti besi Damaskus. metmuseum.org, ed: wachidah handasah

Mengadaptasi_Teknologi_Nano


Belum lama kita mendengar istilah teknologi nano. Karena itu, sulit membayangkan sebuah partikel yang sangat kecil, namun menentukan itu digunakan oleh para pembuat pedang Muslim di masa lalu. Apalagi nanometer, alat untuk mengukur teknologi nano, belum ada. Baru saat-saat ini saja, manusia bisa mengukur besaran nano dalam sebuah partikel.

Meski demikian, teknologi nano inilah yang dipercaya sebagai inti dari kekuatan besi Damaskus. Tekonologi nano bisa diterjemahkan sebagai proses inklusi yang disengaja dari material yang sangat kecil sehingga menghasilkan reaksi kimia pada level kuantum. Teknologi nano ini pernah ditemukan pada warna biru yang muncul di mural bangsa Maya di Amerika pada abad ke-8. Teknologi itu juga ditemukan pada kaca bercorak pada masa Renaissance di Eropa, serta kaca berwarna di Mesir. Hal-hal luar biasa itu dipicu oleh material kecil yang memicu inklusi sehingga bisa dikatakan teknologi nano adalah bentuk alkemia yang paling murni.

Teknologi nano inilah yang memegang peranan penting dalam terciptanya besi Damaskus. Sebuah material asing yang sangat kecil, yang justru mempengaruhi sebagian besar besi yang lain. Tidak ada yang bisa menciptakan teknologi itu setelah pertengahan abad ke-18. Bahkan, para pembuat pedang di Eropa pun tak pernah berhasil memicu terjadinya inklusi material terkecil itu. Sampai saat ini, hal tersebut masih menjadi tanda tanya bagi mereka.

Sebenarnya, apa yang disebut sebagai besi Damaskus yang asli adalah besi yang terbuat dari bahan mentah yang biasa disebut baja wootz. Wootz adalah jenis besi berlevel tinggi yang pertama kali dibuat di India dan Srilanka pada 300 tahun sebelum Masehi. Wootz diekstraksi dari bijih besi yang dilelehkan kemudian dibuang bahan-bahan yang mengurangi kemurnian besi tersebut. Pada bahan tersebut lalu ditambahkan kadar karbon hingga 1,5 persen. Pada besi-besi yang lain, kadar karbonnya hanya satu persen.

Kadar karbon yang tinggi itulah yang menjadi kunci terpenting dari pembuatan besi Damaskus. Sedikit saja kesalahan dalam menambahkan kadar karbon itu, kualitas besi yang didapatkan tidak akan maksimal. Kadar karbon yang tinggi akan membuat pedang yang tercipta memiliki sisi yang sangat tajam dan rapi, serta daya tahan yang tinggi.

Sebenarnya, sangat sulit untuk mendapatkan kadar karbon yang sesuai dengan kebutuhan. Kadar karbon yang terlalu sedikit akan menghasilkan besi yang terlalu lembek saat ditempa. Jika terlalu banyak akan didapatkan besi yang terlalu liat. Sementara campuran kadar karbon yang tidak tepat akan menghasilkan pedang yang sangat mudah patah. Meski begitu, para ahli logam Muslim mampu mengontrol kadar tersebut sehingga besi yang dihasilkan layak digunakan untuk membuat senjata. Sayangnya, kemampuan itu hilang sejak pertengahan abad ke-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar