Cari Blog Ini

Jumat, 15 April 2011

Ia Membangunkanku dengan Sebuah Kecupan


Cerpen Edi Sembiring
Tahukah kamu hal yang terindah di dunia?
Aku akan berbagi cerita untukmu. Beri waktu untuk mendengarkannya sejenak, kelak aku tak mampu mengulanginya. Sebab binar mataku akan lenyap bersama bayangan yang kian entah ke mana.
Jangan takut waktumu akan terbuang, ini rahasia hidup yang kelak berguna bagimu. Aku takkan bertele-tele, ceritaku tak seperti cerita-cerita lain yang disusun dengan banyak kata-kata mubajir demi membuat pembacanya terjebak dalam alur yang berjalan. Justru itu akan menimbulkan rasa bosan, nalar kadang lelah melompat-lompat membuat cerita bagai tarian tak sejiwa dengan nada. Sebelum engkau bertambah bosan, aku mulai saja ceritanya.
Menurutku, hal yang terindah di dunia adalah menerima sebuah kecupan di pagi hari. Aku katakan di sini menerima sebuah cium bukan saling berciuman, sebab saling berciuman menyiratkan kesadaran. Dan menerima ciuman yang ku maksud adalah dalam kondisi ketaksadaran, walau ada juga dalam kondisi sadar seperti perawan yang tercengang ketika bibirnya dikecup pertama kali.
Peristiwa ini ku alami pertama kali oleh sebab kecerobohanku, yang lupa mengunci pintu kamarku di sebuah apartemen. Seperti biasa, ia hadir di saat-saat itu. Menyiapkan sarapan kami sebelum sama-sama pergi menuju kantor yang kebetulan letaknya di gedung yang sama.
Kali ini tubuhku tak diguncang, tapi ku bangun oleh kecupannya. Sesuatu yang hangat pelan-pelan menyentuh sisi bibirku, sedikit melumat tepi bibirku. Entah aliran apa namanya membuat kebekuan kian mencair. Selanjutnya hidungku merasakan sebuah wangi yang tak selalu dikenakan angin. Mendapatkan aroma yang segar nan memikat. Melaju bagai anak-anak panah yang manja terbang menuju otakku. Dan otakku menamainya wangi gadisku. Lalu lamat-lamat mata terperintahkan menguak, bersamaan itu pula, saraf-saraf tubuhku menjadi kian hangat. Pipiku tersentuh oleh hangat nafasnya, nafas yang tak memburu. Ketulusan menyelusup pada pori-pori wajahku.
Yang pertama ku tatap adalah bola mata hitam dikelilingi yang putih. Sejenak kemudian kian meredup, menampakkan bulu-bulu halus yang sungguh lentik. Ada sebuah kepasrahan tanpa menyembunyikan ingin. Bibirku latah bergetar, getarnya lamat-lamat mengikuti gerak bibirnya. Kudapati dinding-dinding halus yang entah mengapa juga ikut bergetar. Dan nafasku kini bukan lagi nafas yang lalu. Bibir kami telah sebibir dan hela nafas menjadi detik-detik waktu. Semenjak itu kami selalu melakukannya. Ya, di pagi hari. Tapi bukan berarti pula ku jaga sifat cerobohku agar ia bisa melakukannya tanpa perlu mengetuk pintu. Karena di pagi itu, saat ia pertama kali membangunkanku dengan kecupan, di meja makan ia melemparkan kata-kata. Berserak di udara bagai badai menampar jendela. Ia marah oleh pintu yang tak dikunci. Tapi apakah ia tahu, kecerobohan itu menelurkan sebuah rahasia hidup. Bermulanya nikmat yang tak bernama.
Aku menduplikatkan kunci pintu, agar ia bisa hadir tanpa mengetuk pintu. Sungguh bodoh mengenyahkan sebuah nikmat. Oleh pagi yang indah, ku bisa lalui hari dengan penuh semangat. Karena kebangkitanku di pagi hari lahir dari sebuah kecupan. Layaknya kecupan agung milik Romeo dan Juliet.
Walau yang terindah adalah saat ia datang bagai angin, tetapi seringkali pula ia tak perlu membuka pintu. Tubuhnya telah terbaring telanjang di sisiku, di malam-malam itu. Sisa lelah senggama kemarin malamnya tak pernah membuatnya alpa untuk memberi kecupan. Aahhhh…. api neraka akan padam oleh cemburunya pada gelora asmara milik kami. * * * * *
Kali ini bibirnya adalah bibir indah yang terkuak sedikit, menampilkan barisan gigi-gigi putih yang telah rapi. Dulu aku sering mengejeknya, akan kawat gigi yang mengikat erat. Lidahku akan merasa asing pada mahluk yang memagari giginya. Tapi syukurlah, sejak kawat gigi itu dilepas senyumnya kian indah mengukir di wajah yang berpoles kecerdasan.
Saat ini, aku bukan ingin mendahuluinya untuk memberi kecupan. Karena memang dialah yang selalu bangun terdahulu. Tapi kini tidak. Wajahku telah menunduk di atasnya, kini tak ada ruang di antara bibir-bibir kami. Menyentuhnya. Pelan melumat. Nafasku memberi hangat yang berpendar, terhampar di pipinya yang halus. Membasahi tepi bibirnya dengan bibirku.
Bibirnya tak latah oleh bibirku. Aku menatap matanya yang terpejam, bukan oleh nikmat atau rasa malu milik wanita. Biarlah ia tetap begitu, tak usah membuka mata. Biar aku yang menaburi kasih. Kini, tak perlu lagi ia susah-susah membangunkanku dengan sebuah kecupan. Cukuplah bibirku yang menemuinya di tiap pagi.
Kasihku akan tetap jujur seperti dulu. Walau mungkin kecupanku tak akan mampu bangunkan ia, setelah ku temukan dirinya telanjang memelukku seminggu yang lalu, tanpa menyimpan jiwa lagi. Kekasihku adalah kekasih yang akan kutemukan di pagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar